PSIKOTERAPI
Pada
psikologi terdapat beberapa aliran yang dimana setiap aliran tersebut mempunyai
terapi tersendiri seperti aliran yang kami pilih adalah aliran Psikoanalisis
dengan menggunakan terapi transferensi, aliran Behavior dengan terapi desentisasi sistematis, dan aliran
Humanistik menggunakan terapi client-centered
therapy. Berikut ini adalah penjelasan dari terapi tersebut:
A.
Psikoanalisis:
Terapi Transferensi
1.
Pengertian Terapi
Transferensi
Transferensi
pertama kali dijelaskan oleh Sigmun Freud dan diakui sangat penting untuk
psikoanalisis agar lebih memahami perasaan klien. Transferensi adalah fenomena
dalam psikoanalisis yang ditandai dengan pengalihan perasaan alam bawah sadar
dari satu orang ke orang lain. Teknik ini merupakan teknik utama dalam terapi
psikoanalisis karena dalam teknik ini masa lalu dihidupkan kembali. Pada teknik
ini pun diharapkan klien dapat memperoleh pemahaman atas sifatnya sekarang yang
merupakan pengaruh dari masa lalunya.
2.
Cara dan Tahapan pada
Terapi Transferensi
Transferensi merupakan respon klien kepada seorang
konselor dengan mengidentifikasi seakan-akan konselor adalah orang didalam
kehidupan klien dimasa lalu dan mengembangkan reaksi emosional ke konselor,
seperti misalnya tokoh orang tua atau kekasih. Teknik ini mendorong klien menginterpretasikan
perasaan-perasaan positif dan negatif yang diekspresikan, teknik ini juga
mendorong klien untuk menghidupkan kembali masa lampau dalam terapi. Selain
itu, saat transferensi berlangsung akan memicu munculnya perasaan benci,
ketakutan, kecemasan dan sebagainya yang selama ini ditekan oleh klien, lalu
hal tersebut akan diungkapkan kembali dengan sasaran konselor sebagai objeknya.
Dalam konteks ini konselor melakukan analisis pengalaman klien dimasa kecil,
terutama hal-hal yang meghambat perkembangan kepribadian klien. Tahapan pada
transferensi antara lain:
a.
Tahap
pembukaan
Tahap pembukaan ini terjadi pada permulaan interview hingga masalah klien
ditetapkan. Terdapat dua bagian pada tahap ini, yaitu disepakati tentang
struktur situasi analisis yang menyangkut tanggung jawab konselor serta klien
dan bagian kedua dimulai dengan klien menyimpulkan posisinya, sementara
konselor terus mempelajari dan memahami dinamika konflik-konflik ketidaksadaran
yang dialami klien.
b.
Pengembangan
transferensi
Perkembangan dan analisis transferensi merupakan
inti dalam psikoanalisis. Pada fase ini perasaan klien mulai ditunjukan kepada
konselor yang dianggap sebagai orang yang telah menguasai masa lalunya.
c.
Bekerja
melalui transferensi
Tahap ini mencakup mendalami pemecahan dan
pengertian klien sebagai orang yang terus melakukan transferensi. Tahap ini
dapat tumpang tindih dengan tahap sebelumnya hanya saja transferensi terus
berlangsung dan konselor berusaha memahami tentang dinamika kepribadian
kliennya.
d.
Resolusi
transferensi
Tujuan tahap ini adalah memecahkan perilaku neurosis
klien yang ditunjukan kepada konselor sepanjang hubungan konseling. Konselor
juga mulai mengembangkan hubungan yang dapat meningkatkan kemandirian pada
klien dan menghindari adanya ketergantungan klien pada konselornya.
3.
Kelebihan
dan Kekurangan Terapi Transferensi
a.
Kelebihan
·
Dengan terapi
psikoanalisis ini, klien dapat terbantu dalam mencapai kesadaran diri,
kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan personal dalam menangani
kecemasan secara realistis.
·
Terapi ini memiliki
dasar teori yang kuat
·
Terapis bisa lebih
mengetahui masalah dari diri klien, karena klien sendirilah yang memunculkan
kembali pengalaman-pengalaman masa lalu klien yang tidak disadari menyimpan
sebuah masalah dengan menghadirkannya kembali dari alam bawah sadar klien.
b.
Kekurangan
Freud mencatat
sejumlah keterbatasan dari penanganan psikoanalisis ini yaitu:
·
Tidak semua kenangan
masa lalu bisa atau sebaikanya dibawa ke alam sadar.
·
Penanganan ini tidak
efektif untuk penyakit menetap dibandingkan dengan masalah-masalah yang terkait
dengan fobia, histeria dan obsesi.
·
Selain itu setelah
sembuh klien bisa saja mengalami masalah psikis yang lain.
·
Kekurangan yang lain
yaitu dalam menjalankan terapi ini butuh waktu yang cukup lama untuk melakukan
terapi sehingga membuat klien akan merasa jenuh.
B.
Behavior: Terapi Desentisasi
Sistematis
1.
Pengertian Terapi Desentisasi
Sistematis
Desensitisasi
sistematis adalah salah satu teknik yang digunakan untuk menghilangkan tingkah
laku yang diperkuat secara negatif, serta memunculkan tingkah laku atau respon
yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan tersebut. Teknik ini
mengarahkan agar klien dilatih untuk menampilkan suatu respon yang tidak
konsisten dengan kecemasan yang dialaminya. Wolpe seorang ahli yang pertama
mengembangkan teknik desensitisasi sistematis, mengajukan argumen bahwa segenap
tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan serta kecemasan tersebut
menurutnya dapat dihilangkan dengan respon-respon yang secara inheren berlawanan dengan respon
tersebut. Dengan menggunakan pengkondisian klasik, maka kekuatan stimulus yang
menyebabkan kecemasan dapat dilemahkan, dan gejala kecemasan dapat dikendalikan
serta dihapus melalui penggantian stimulus.
2.
Cara dari Terapi Desentisasi
Sistematis
Teknik
ini digunakan bila seorang sangat cemas terhadap suatu stimulus tertentu. Kita
semua merasa sangat cemas terhadap satu atau lebih stimulus. Stimulus itu
mungkin berupa menempuh ujian, ular, tikus, rayuan asmara, berada sendirian,
tempat-tempat yang tinggi (ketinggian), berjalan sendirian, suntikan,
obat-obatan, berada di dalam tempat yang kecil atau tempat yang ramai,
pintu-pintu yang terkunci, tangga yang curam, dan sebagainya. Pendekatan ini
bertumpu pada fakta bahwa seseorang tidak dapat secara serempak merasa cemas
dan relaks. Wolpe menggunakan relaksasi sebagai cara mengimbangi stimulus yang
ditakuti.
Desensitisasi
sistematis terdiri dari 3 tahap, yakni melatih relaksasi otot yang mendalam,
menyusun hierarki kecemasan (urutan kecemasan), dan menghayalkan
stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan yang diimbangi dengan relaksasi.
Untuk laitihan relaksasi otot secara mendalam digunakan modifikasi prosedur
dari Jacobson (1934). Di bawah instruksi terapis, pasien diajarkan untuk relaks
dengan menenangkan dan kemudian mengendurkan sekelompok otot progresif. Tahap
ini berakhir bila pasien dengan berkhayal mampu mengendurkan otot-otot.
Tahap
kedua adalah menyusun hierarki kecemasan. Dalam suatu rangkaian wawancara,
terapis berusaha menemukan situasi-situasi stimulus yang menimbulkan ketakutan
atau kecemasan. Misalnya, orang yang mengalami ketakutan yang tidak masuk akal
terhadap tempat-tempat yang tinggi (ketinggian). Mungkin ada beberapa hal di
mana ketakutan muncul seperti berada dalam bangunan-bangunan yang tinggi,
mengendarai mobil di tempat yang tinggi, terbang dengan pesawat terbang yang
kecil, dan sebagainya. Untuk setiap hal itu sejumlah stimulus diurut
berdasarkan bagaimana stimulus-stimulus tersebut menimbulkan ketakutan, mulai
dari yang sangat kurang menakutkan sampai dengan yang sangat menakutkan.
Misalnya, urutan dari stimulus-stimulus terbang dalam sebuah pesawat terbang
yang kecil mungkin berupa:
1.
Berpikir mengenai
terbang dengan sebuah pesawat terbang yang kecil pada suatu waktu di masa yang
akan datang.
2.
Mengetahui bahwa dalam
dua minggu Anda harus terbang dengan sebuah pesawat terbang yang kecil.
3.
Mengetahui bahwa minggu
depan Anda harus terbang dengan sebuah pesawat terbang yang kecil.
4.
Berpikir bahwa besok
Anda harus terbang dengan sebuah pesawat terbang yang kecil.
5.
Mengetahui bahwa hari
ini Anda harus terbang dengan sebuah pesawat terbang yang kecil.
6.
Anda mengendarai mobil
ke lapangan udara untuk terbang.
7.
Membeli tiket di
lapangan udara untuk terbang.
8.
Melihat barang di
bagasi Anda di letakan di pesawat terbang.
9.
Berjalan menuju pesawat
terbang tersebut.
10. Memasuki
pesawat terbang kecil tersebut.
11. Menggunakan
sabuk pengaman.
12. Mendengar
suara mesin pesawat terbang dihidupkan.
13. Mendengar
pilot diizinkan terbang.
14. Merasa
pesawat terbang berjalan di landasan pacu.
15. Lepas
landas.
16. Merasa
pesawat terbang, terbang tinggi.
17. Menengok
keluar jendelan pesawat terbang ketika pesawat terbang itu terbang tinggi.
18. Mencapai
ketinggian di mana pesawat terbang akan menjelajah.
19. Menengok
keluar jendela pada ketinggian penjelajahan pesawat terbang.
20. Mengalami
angin rebut selama penerbangan.
21. Menengok
keluar jendela selama angin rebut.
Tahap
ketiga adalah dengan berkhayal, stimulus-stimulus yang menimbulkan ketakutan
dalam hierarki itu di imbangi dengan relaksasi. Tujuan dari tahap ini adalah
menggantikan ketakutan terhadap setiap stimulus dengan relaksasi. Ini dilakukan
dengan menyuruh klien membayangkan (menghayalkan) setiap stimulus yang
menimbulkan kecemasan sementara klien berada dalam keadaan relaks.
Prosedur-prosedur khusus dari tahap ini adalah (a) klien disuruh untuk
membayangkan (memikirkan tentang) bermacam-macam adegan dari hierarki
kecemasannya. Hal yang ditakuti dalam hierarki itu dikerjakan secara terpisah
mulai dengan situasi stimulus yang sangat kurang menakutkan, (b) klien diminta
untuk mengacungkan jari telunjuknya bila ia cemas pada saat membayangkan suatu
stimulus, (c) mengambil hal yang ditakuti, dan kemudian klien disuruh untuk
membayangkan situasi stimulus yang sangat kurang menakutkan pada hal yang
ditakuti itu. Klien disuruh untuk berpikir tentang hal itu dan disuruh untuk
relaks, dan setterusnya, (d) bila klien tidak memperlihatkan kecemasan, maka
disajikan adegan berikutnya dalam hierarki kecemasan itu dan di imbangi dengan
relaksasi. Secara bertahap klien dan terapis menelusuri hierarki kecemasan itu
dengan cara seperti ini. Jika klien menunjukan kecemasan terhadap suatu
stimulus, maka terapis menyuruh klien untuk relaks. Setelah klien relaks, suatu
adegan ketakutan yang lebih rendah dalam hierarki itu kemudian disajikan dan
terapis serta pasien secara bertahap menelusuri lagi hierarki kecemasan itu.
3.
Kelebihan dan
Kekurangan Terapi Desentisasi Sistematis
a.
Kelebihan
Kelebihan
dari desensitisasi melalui imajinasi adalah munculnya stimulus-stimulus yang
ditakuti dapat diatur. Dengan menghadapi stimulus-stimulus yang ditakuti dalam
hierarki secara bertahap lewat imajinasi, seseorang tidak mungkin didorong
terlalu jauh oleh suatu peristiwa yang tidak bisa dikontrol. Sebagai teknik
klinis, desensitisasi sistematis dinilai sangat efektif dalam mereduksikan
kecemasan, ketakutan, dan fobia yang melakat pada kondisi-kondisi tertentu.
b.
Kekurangan
1.
Tidak semua terapis
mampu berperan propagandist dalam penerapan teknik treatment desensitisasi
sistematis.
2.
Dalam teknik
desensitisasi sistematis perlu melibatkan teknik-teknik lain untuk membantu
terapis. Contoh : relaksasi.
3.
Teknik memerlukan waktu yang lama untuk
penerapannya sebab terdapat tahap-tahap atau tingkatan yang berkelanjutan dalam
membantu terapis, misalnya:
a.
Tahap I :
Menghilangkan kecemasan tingkat rendah
b.
Tahap II : Menghilangkan kecemasan tingkat
sedang
c.
Tahap III : Menghilangkan kecemasan tingkat
tinggi
4.
Terapis perlu membuat
format-format tertentu yang sangat detail mengenai masalah pasien sesuai dengan
tingkatan atau tahapan-tahapan teknik ini.
C.
Humanistik:
Client-Centered Therapy
1.
Pengertian Client-Centered
Therapy
Client-centered therapy sering juga disebut psikoterapi non-directive, atau person centered therapy, yaitu suatu metode perawatan psikis yang
dilakukan antara terapis dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi
antara ideal slef dengan actual self. Carl R. Rogers
mengembangkan teori client-centered
therapy sebagai reaksi terhadap apa yang disebutkannya
keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya,
pendekatan client-centered adalah
cabang khusus dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan klien
terhadap dunia subjektif dan fenomenanya. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan
klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Pendekatan client-centered therapy (CCT) berpusat
pada klien. Pendekatan ini sering pula disebut sebagai konseling diri (self theory), konseling non-direktif,
dan konseling Rogerian.
Client-centered Therapy mendasarkan diri pada pandangannya tentang sifat dan
hakikat manusia. Pandangannya tertuju pada penghargaan martabat manusia.
Istilah client-centered
sukar diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang singkat dan mengena, biasanya dapat
dideskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan peranan
konseli sendiri dalam proses konseling. Awalnya corak
konseling ini disebut konseling nondirektif. Hal ini untuk
membedakannya dari corak konseling yang mengandung banyak pengarahan dan
kontrol terhadap proses konseling di pihak konselor, seperti dalam konseling
klinikal dan psikoanalisis. Asumsi dasar dari client-centered
therapy adalah bahwa orang itu secara esensial bisa dipercaya, memiliki
potensi yang besar untuk memahami dirinya dan menyelesaikan masalah mereka
tanpa intervensi langsung dari puhak terapis, dan bahwa mereka ada kemampuan
untuk tumbuh sesuai dengan arahan mereka sendiri apabila mereka terlibat dalam
hubungan terapeutik.
2.
Cara Client-Centered
Therapy
Rogers mengemukakan enam syarat dalam proses terapi person-centered yang
harus dipenuhi oleh terapis. Rogers menyatakan bahwa pasien akan mengadakan
respon jika:
a.
Terapis menghargai tanggung jawab pasien terhadap tingkah lakunya
sendiri
b.
Terapis mengakui bahwa pasien dalam dirinya sendiri memiliki dorongan
yang kuat untuk menggerakkan dirinya ke arah kematangan atau kedewasaan serta
independensi, dan terapis menggunakan kekuatan ini seta bukan usaha-usahanya
sendiri
c.
Menciptakan suasana yang hangat dan memberikan kebebasan yang penuh di
mana pasien dapat mengungkapan atau juga tidak mengungkapan apa saja yang
diinginkannya
d.
Membatasi tingkah laku terapi bukan sikap, misalnya pasien mungkin
mengungkapkan keinginannya untuk memperpanjang pertemuan melampaui batas waktu
yang telah disetujui, tetapi terapis tetap mempertahankan jadwal semula
e.
Terapis membatasi kegiatannya untuk menunjukkan pemahaman dan
penerimaannya terhadap emosi-emosi yang sedang diungkapkan pasien mungkin
dilakukannya dengan memantulkan kembali dan menjelaskan perasaan-perasaan
pasien
f.
Terapis tidak boleh bertanya, menyelidiki, menyalahkan, memberikan
penafsiran, menasihatkan, mengajarkan, membujuk, dan meyakinkan kembali.
Client-Centered menempatkan
tanggung jawab tidak pada konselor, tetapi pada klien. Ada beberapa teknik
dasar yang harus dimiliki client-centered
adalah sebagai berikut:
a.
Mendengarkan klien secara aktif
b.
Merefleksikan perasaan klien
c.
Menjelaskannya
Teknik-teknik konselingnya adalah sebagai berikut:
a.
Acceptance (penerimaan)
b.
Respect (rasa hormat)
c.
Understanding (mengerti/memahami)
d.
Reassurance (menentramkan
hati/meyakinkan)
e.
Encouragement (dorongan)
f.
Limited
quetioning (pertanyaan terbatas)
g.
Reflection (memantulkan
pertanyaan dan perasaan)
3.
Kelebihan dan Kekurangan Client-Centered
Therapy
a.
Kelebihan
·
Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia
subyek klien, memberikan
peluang yang jarang kepada klien untuk
sungguh-sungguh di dengar dan mendengarkan.
·
Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak
akan dievaluasi dan dihakimi.
·
Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan
tingkah laku baru.
·
Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri
mereka sendiri dan merekalah yang masang dalam konseling.
·
Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka
ingin mengeksplorasikan di
atas landasan-landsan dan tujuan bagi perubahan.
·
Pendekatan clien-centered
menyajikan kepada
klien umpan
balik langsung dan khas dari apa yang baru di komunisikan.
·
Terapis tertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam.
b.
Kekurangan
·
Cara sejumlah praktisi yang menyalah tafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap
sentral dari posisi clien center
·
Tidak semua konselor bisa mempratekkan terapi clien center sebab banyak konselor tidak
mempercayai filsafat yang melandasinnya.
·
Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka
sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik.
·
Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pempraktek menjadi
terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai
pribadi yang unik.
REFERENSI :
Riyanti,
Dwi. B. P., Hendro, P. Psikologi umum 2.
(1998). Jakarta : Universitas Gunadarma.
Yustinus,
M. Kesehatan mental 3. (2006).
Jakarta : Kanisius.
Tavris,
C & Wade, C. (2008). Psikologi: jilid
1 edisi 9. Jakarta: Erlangga.
Spiegler,
M.D. (2015). Contemporary behavior
therapy 6th edition. Boston: Nelson Education, Ltd.